Usaha Panjang Menguak Skandal Politik Terbesar di Amerika
Sutradara : Alan J. Pakula
Produser :
Walter Coblenz
Pemeran :
Dustin Hoffman; Robert Redford; Jason Robard; Jack Warden
Penyunting :
Robert L. Wolfe
Genre :
Drama, Sejarah, Misteri, Thriller
Distribusi :
Warner Bros
Durasi :
138 menit
Tanggal rilis :
4 April 1976
Berawal dari penangkapan lima orang penyusup yang tertangkap basah
saat memasuki salah satu ruangan di kompleks perkantoran Watergate yang
merupakan basis Partai Demokrat pada dini hari, 17 Juni 1972, oleh Kepala
Satuan Pengamanan (satpam) Frank Wills yang bertugas saat itu. Investigasi
menjadi semakin meluas sampai pada mundurnya Presiden Nixon dari jabatannya
pada tahun 1974 (pertama kalinya dalam sejarah seorang Presiden Amerika Serikat mengundurkan diri).
Kasus ini dapat terungkap berkat kontribusi besar dua orang wartawan The
Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Bagaimana jalannya
penyelidikan dan pengumpulan data itulah yang diperlihatkan dalam film All The
President’s Men ini.
Bob Woodward (Robert Redford)
adalah seorang wartawan yang ditugaskan editornya, Ben Bredlee (Jason Robards)
untuk menyelidiki kasus penyusupan ke kantor pusat Partai Demokrat di kompleks
perkantoran Watergate. Kasus yang tampaknya hanyalah kasus penyusupan biasa
tersebut ternyata memiliki rahasia besar yang melibatkan konspirasi di bidang
pemerintahan seperti yang diinformasikan oleh Deep Throat, seorang sumber
anonim yang menjadi whistleblower dalam memecahkan skandal ini.
Bersama rekannya Carl Bernstein
(diperankan dengan sangat apik oleh Dustin Hoffman), Bob kemudian mencari data
dengan metode penelitian jurnalistik untuk mencari tahu fakta sebenarnya.
Penyelidikan inilah yang pada akhirnya membawa kedua wartawan berhasil mengungkap
skandal Watergate, salah satu skandal politik paling menggemparkan dalam
sejarah pemerintahan Amerika Serikat.
Bagi anda yang paham sejarah
politik di Amerika Serikat, tentu tidak asing lagi mendengar istilah Skandal
Watergate ini. Diangkat dari mahakarya jurnalistik pemenang penghargaan
Pulitzer (penghargaan paling bergengsi di dunia jurnalistik) dengan judul yang
sama, All The President’s Men memvisualisasi laporan Bob Woodward dan Carl
Bernstein yang telah merubah praktik politik dan jurnalisme di Negeri Paman Sam
itu hingga sekarang (seperti dilaporkan
harian The New York Times edisi 5 Juni 2005). Lika-liku reportase spesial Bob
dan Carl menginspirasi Alan J. Pakula untuk menuangkannya dalam film.
Penggarapan yang cantik dan detail seperti kejadiannya sebenarnya, membawa film berdurasi 138 menit ini menyabet
penghargaan Oscar pada tahun 1976. Akting para pemain yang terasa begitu
natural membuat penonton seolah ikut masuk dalam penyelidikan ala detektif .
Robert Redford yang berperawakan serius sangat serasi saat berduet dengan
Dustin Hoffman yang disini berperan sebagi wartawan yang agak slengean. Salah
satu scene terbaik adalah saat Bob dan Carl dibantu oleh seorang wanita yang
tak lain adalah rekan mereka sesama wartawan di The Washington Post.
Bagi penonton awam, mungkin
cerita yang disajikan agak berat untuk diresapai. Akan lebih baik jika sebelum
menonton film ini anda melengkapi diri
dengan pengetahuan yang mumpuni seputar sejarah kasus Watergate. Beruntung sebagai
mahasiswi yang memang mendalami Ilmu Politik saya telah memiliki pengetahuan
mengenai kasus ini sebelumnya. Disamping itu, alur cerita yang lambat sehingga
membuat penonton merasa bosan diawal cerita juga menjadi salah satu point minus
dari film yang di produseri oleh Walter Coblenz ini.
Melalui
film ini juga, pengetahuan saya tentang kehidupan sehari-hari seorang wartawan
dalam memburu berita semakin bertambah. Bagaimana wartawan menjalani pekerjaan
mereka yang seolah 24 jam non stop demi
menyajikan berita paling eksklusif. Bagaimana peliknya saat harus berdebat
dengan editor dan tulisan anda di rombak habis-habisan. Bagaimana susahnya
membuat narasumber buka mulut, atau bagaimana ketika tidak hanya karir namun
nyawa anda juga menjadi ancaman. Pantas bila dijadikan sebagai film wajib
tonton bagi mereka yang berkecimpung di dunia jurnalistik.
Bagi saya pribadi, daya tarik
sesungguhnya dari film ini dalam kisah nyatanya adalah bagaimana Bob dan Carl
selama 30 tahun lebih tidak pernah membocorkan identitas narasumber mereka
sesuai Kode Etik Jurnalisme. Dalam berbagai kesempatan, dua orang wartawan
senior itu sering diserang pertanyaan seputar keberadaan narasumber gelap Deep
Throat. Namun etika jurnalistik untuk melindungi identitas narasumber tetap
mereka pegang. Woodward dalam sebuah jumpa pers pernah mengatakan dirinya tidak
akan mengungkapkan identitas Throat selama orang itu masih hidup atau sampai
dia membebaskannya dari perjanjian kerahasiaan tersebut. Lagi-lagi saya belajar
lebih tentang kehidupan jurnalis.
Film yang dinaungi rumah produksi
Warner Bros ini kembali mencuat tahun 2005 saat Mark Felt muncul di depan
publik dan mengaku sebagai Deep Throat. Tak lama berselang Bob pun
mengamini pengakuan mantan Wakil Kepala FBI
ini. Kemunculan Mark telah menjawab spekulasi yang beredar. Kasus ini menjadi
rujukan pakar hukum tata negara dari seluruh dunia soal cara parlemen
memakzulkan presiden. Pemerintah Amerika memperbaiki undang-undang kampanye dan
pemilihan umum. Dunia jurnalistik Amerika pun mendapatkan manfaat. Liputan
investigasi menjadi marak. Pemanfaat sumber anonim juga menjadi tren.
Selesai menonton film ini, usil
saya berfikir, dimanakah wartawan-wartawan investigasi Indonesia saat ini ?
Menjelang PEMILU 2014 yang tinggal sebentar lagi, media massa dimarakkan dengan
berita-berita skandal politik. Namun, tetap saja, berita yang disajikan
dangkal, tak ada feel sama sekali, bahkan cenderung terkesan digunakan untuk
membentuk citra elit kekuasaan tertentu. Media massa nasional yang selama ini
terkenal dengan jargon liputan investigasinya seolah telah kehilangan daya
kritis. Pemberitaan yang disajikan pun dibuat dramatis dengan alur cerita bak
sinetron kejar tayang.
Salah satu laporan jurnalistik
yang pernah saya baca adalah buku The Bre-X : Sebungkah Emas di Kaki Pelangi
karya Bondan Winarno. Dalam bukunya yang berisi laporan investigasi ini, Pak
Bondan berhasil menguak kasus “meninggalnya”nya Michelle de Guzman, salah satu
petinggi tambang The Bre-X di Kalimantan. Tak tanggung-tanggung, wartawan yang
kini menggeluti dunia kuliner dan terkenal dengan kalimat mak nyuss-nya ini
berhasil mengungkap siapa “pembunuh” sebenarnya yang oleh polisi pun tak
berhasil dilacak. Pak Bondan, melalui penelusuran yang telah dilakukanya,
bahkan berani membuat penyataan kontroversial dengan menyatakan de Guzman masih
hidup. Tidak mudah melakukan peliputan. Ia bahkan harus menggali “makam de
Guzman” di Thailand untuk membuktikan fakta yang ditemuinya di lapangan. Check
and re-check yang berulang pun harus dilakukan untuk mendapatkan data
sebenarnya. Diam-diam saya merindukan hadirnya kembali wartawan-wartawan
Indonesia yang berani mengungkapkan kasus, sanggup mengawal pemberitaan, serta
mampu mewujudkan cita-cita pers sebagai pilar demokrasi keempat seperti wartawan-wartawan
di atas. Semoga akan lahir kembali Bob dan Carl serta Bondan-Bondan lainnya.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar