Rabu, 26 Juni 2013

All The President's Men


Usaha Panjang Menguak Skandal Politik Terbesar di Amerika


Sutradara            : Alan J. Pakula
Produser             : Walter Coblenz
Pemeran             : Dustin Hoffman; Robert Redford; Jason Robard; Jack Warden
Penyunting         : Robert L. Wolfe
Genre                   : Drama, Sejarah, Misteri, Thriller
Distribusi             : Warner Bros
Durasi                   : 138 menit
Tanggal rilis         : 4 April 1976
        
Berawal dari penangkapan  lima orang penyusup yang tertangkap basah saat memasuki salah satu ruangan di kompleks perkantoran Watergate yang merupakan basis Partai Demokrat pada dini hari, 17 Juni 1972, oleh Kepala Satuan Pengamanan (satpam) Frank Wills yang bertugas saat itu. Investigasi menjadi semakin meluas sampai pada mundurnya Presiden Nixon dari jabatannya pada tahun 1974 (pertama kalinya dalam sejarah seorang  Presiden Amerika Serikat mengundurkan diri). Kasus ini dapat terungkap berkat kontribusi besar dua orang wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Bagaimana jalannya penyelidikan dan pengumpulan data itulah yang diperlihatkan dalam film All The President’s Men ini.
Bob Woodward (Robert Redford) adalah seorang wartawan yang ditugaskan editornya, Ben Bredlee (Jason Robards) untuk menyelidiki kasus penyusupan ke kantor pusat Partai Demokrat di kompleks perkantoran Watergate. Kasus yang tampaknya hanyalah kasus penyusupan biasa tersebut ternyata memiliki rahasia besar yang melibatkan konspirasi di bidang pemerintahan seperti yang diinformasikan oleh Deep Throat, seorang sumber anonim yang menjadi whistleblower dalam memecahkan skandal ini.
Bersama rekannya Carl Bernstein (diperankan dengan sangat apik oleh Dustin Hoffman), Bob kemudian mencari data dengan metode penelitian jurnalistik untuk mencari tahu fakta sebenarnya. Penyelidikan inilah yang pada akhirnya membawa kedua wartawan berhasil mengungkap skandal Watergate, salah satu skandal politik paling menggemparkan dalam sejarah pemerintahan Amerika Serikat.


Bagi anda yang paham sejarah politik di Amerika Serikat, tentu tidak asing lagi mendengar istilah Skandal Watergate ini. Diangkat dari mahakarya jurnalistik pemenang penghargaan Pulitzer (penghargaan paling bergengsi di dunia jurnalistik) dengan judul yang sama, All The President’s Men memvisualisasi laporan Bob Woodward dan Carl Bernstein yang telah merubah praktik politik dan jurnalisme di Negeri Paman Sam itu  hingga sekarang (seperti dilaporkan harian The New York Times edisi 5 Juni 2005). Lika-liku reportase spesial Bob dan Carl menginspirasi Alan J. Pakula untuk menuangkannya dalam film. Penggarapan yang cantik dan detail seperti kejadiannya sebenarnya,  membawa film berdurasi 138 menit ini menyabet penghargaan Oscar pada tahun 1976. Akting para pemain yang terasa begitu natural membuat penonton seolah ikut masuk dalam penyelidikan ala detektif . Robert Redford yang berperawakan serius sangat serasi saat berduet dengan Dustin Hoffman yang disini berperan sebagi wartawan yang agak slengean. Salah satu scene terbaik adalah saat Bob dan Carl dibantu oleh seorang wanita yang tak lain adalah rekan mereka sesama wartawan di The Washington Post.
Bagi penonton awam, mungkin cerita yang disajikan agak berat untuk diresapai. Akan lebih baik jika sebelum menonton film ini  anda melengkapi diri dengan pengetahuan yang mumpuni seputar sejarah kasus Watergate. Beruntung sebagai mahasiswi yang memang mendalami Ilmu Politik saya telah memiliki pengetahuan mengenai kasus ini sebelumnya. Disamping itu, alur cerita yang lambat sehingga membuat penonton merasa bosan diawal cerita juga menjadi salah satu point minus dari film yang di produseri oleh Walter Coblenz ini.
            Melalui film ini juga, pengetahuan saya tentang kehidupan sehari-hari seorang wartawan dalam memburu berita semakin bertambah. Bagaimana wartawan menjalani pekerjaan mereka  yang seolah 24 jam non stop demi menyajikan berita paling eksklusif. Bagaimana peliknya saat harus berdebat dengan editor dan tulisan anda di rombak habis-habisan. Bagaimana susahnya membuat narasumber buka mulut, atau bagaimana ketika tidak hanya karir namun nyawa anda juga menjadi ancaman. Pantas bila dijadikan sebagai film wajib tonton bagi mereka yang berkecimpung di dunia jurnalistik.
Bagi saya pribadi, daya tarik sesungguhnya dari film ini dalam kisah nyatanya adalah bagaimana Bob dan Carl selama 30 tahun lebih tidak pernah membocorkan identitas narasumber mereka sesuai Kode Etik Jurnalisme. Dalam berbagai kesempatan, dua orang wartawan senior itu sering diserang pertanyaan seputar keberadaan narasumber gelap Deep Throat. Namun etika jurnalistik untuk melindungi identitas narasumber tetap mereka pegang. Woodward dalam sebuah jumpa pers pernah mengatakan dirinya tidak akan mengungkapkan identitas Throat selama orang itu masih hidup atau sampai dia membebaskannya dari perjanjian kerahasiaan tersebut. Lagi-lagi saya belajar lebih tentang kehidupan jurnalis.
Film yang dinaungi rumah produksi Warner Bros ini kembali mencuat tahun 2005 saat Mark Felt muncul di depan publik dan mengaku sebagai Deep Throat. Tak lama berselang Bob pun mengamini  pengakuan mantan Wakil Kepala FBI ini. Kemunculan Mark telah menjawab spekulasi yang beredar. Kasus ini menjadi rujukan pakar hukum tata negara dari seluruh dunia soal cara parlemen memakzulkan presiden. Pemerintah Amerika memperbaiki undang-undang kampanye dan pemilihan umum. Dunia jurnalistik Amerika pun mendapatkan manfaat. Liputan investigasi menjadi marak. Pemanfaat sumber anonim juga menjadi tren.
Selesai menonton film ini, usil saya berfikir, dimanakah wartawan-wartawan investigasi Indonesia saat ini ? Menjelang PEMILU 2014 yang tinggal sebentar lagi, media massa dimarakkan dengan berita-berita skandal politik. Namun, tetap saja, berita yang disajikan dangkal, tak ada feel sama sekali, bahkan cenderung terkesan digunakan untuk membentuk citra elit kekuasaan tertentu. Media massa nasional yang selama ini terkenal dengan jargon liputan investigasinya seolah telah kehilangan daya kritis. Pemberitaan yang disajikan pun dibuat dramatis dengan alur cerita bak sinetron kejar tayang.
Salah satu laporan jurnalistik yang pernah saya baca adalah buku The Bre-X : Sebungkah Emas di Kaki Pelangi karya Bondan Winarno. Dalam bukunya yang berisi laporan investigasi ini, Pak Bondan berhasil menguak kasus “meninggalnya”nya Michelle de Guzman, salah satu petinggi tambang The Bre-X di Kalimantan. Tak tanggung-tanggung, wartawan yang kini menggeluti dunia kuliner dan terkenal dengan kalimat mak nyuss-nya ini berhasil mengungkap siapa “pembunuh” sebenarnya yang oleh polisi pun tak berhasil dilacak. Pak Bondan, melalui penelusuran yang telah dilakukanya, bahkan berani membuat penyataan kontroversial dengan menyatakan de Guzman masih hidup. Tidak mudah melakukan peliputan. Ia bahkan harus menggali “makam de Guzman” di Thailand untuk membuktikan fakta yang ditemuinya di lapangan. Check and re-check yang berulang pun harus dilakukan untuk mendapatkan data sebenarnya. Diam-diam saya merindukan hadirnya kembali wartawan-wartawan Indonesia yang berani mengungkapkan kasus, sanggup mengawal pemberitaan, serta mampu mewujudkan cita-cita pers sebagai pilar demokrasi keempat seperti wartawan-wartawan di atas. Semoga akan lahir kembali Bob dan Carl serta Bondan-Bondan lainnya. Semoga.